‘Bhuppak-Bhâbhu’, Ghuru Rato’ atau Bapak-Ibu Guru dan Raja, merupakan peribahasa yang menggambarkan tingkat penghormatan masyarakat Madura terhadap manusia dan lingkungannya. Khususnya bagi mereka yang dianggap penting dan sangat berjasa dalam berbagai skala hidup.
Terlebih pribahasa yang selanjutnya dijadikan sebagai prinsip hidup masyarakat Madura, juga sesuai dengan ajaran Islam. Sehingga prinsip tersebut mendarah daging bagi mayoritas masyarakat Madura, terlebih pribahasa tersebut menjadi satu kesatuan di antara satu dengan lainnya.
Bhuppak-Bhâbhu’ yang lumrah disebut orang tua kandung, merupakan prioritas untuk dihormati. Hal tersebut selaras dengan anjuran Islam yang mengharuskan untuk selalu berbakti kepada kedua orang tua (dalam bahasa Arab disebut Birrul Walidain), khususnya Sang Ibu.
Bahkan menghormati keduanya bukan lagi hanya sebatas keniscayaan, tetapi justru menjadi keharusan sekaligus kewajiban bagi seorang anak. Termasuk juga dengan menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi orang yang lebih muda.
Ghuru merupakan salah satu elemen yang tidak kalah penting dari pribahasa yang selanjutnya dijadikan sebagai prinsip hidup oleh sebagian besar masyarakat Madura. Tidak jarang perintah atau larangan Sang Guru, hampir sama ampuhnya dengan perintah atau larangan dari kedua orang tua.
Pada momentum 2 Mei yang biasa diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, terdapat sebuah ungkapan teladan dari salah satu tokoh pendidikan nasional, yakni Ki Hajar Dewantoro; ‘Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani‘.
Pada aspek ini, guru memiliki peran sentral sebagaimana orang tua dalam mendidik manusia dalam mewujudkan manusia yang bermanfaat bagi sesama, yakni anfa’uhum linnas. Guru merupakan pelita dalam kegelapan, bahkan tidak jarang juga menjadi lilin dan mengorbankan dirinya untuk menerangi sekitar.
Rato dalam bahasa familiar disebut pemerintah (birokrasi), menjadi bagian penting lainnya. Dalam bahasa Arab disebut sebagai Ulil Amri, yang juga menjadi keharusan untuk ditaati, tentunya selama tidak bertentangan dengan ajaran syariat.
Berdasar uraian di atas, dapat diartikan bahwa dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Madura, terdapat standar referensi kepatuhan pada figur-figur di atas, sekaligus menjadi aturan normatif yang mengikat bagi setiap masyarakat Madura.
Bahkan tidak jarang, melakukan pelanggaran atau paling tidak melalaikan aturan mematuhi figur-figur tersebut, justru akan membuat mereka menerima sanksi sosial sekalipun secara implisit tidak sepenuhnya terjadi akibat kesalahan mereka.
Dari itu, didikan melalui aspek pendidikan tentunya dapat mewujudkan manusia yang benar-benar mampu memahami dirinya, termasuk lingkungan atau bahkan Tuhannya. Wallahu A’lam. [adm]