Penulis: Abdul Gaffar
Kesehatan jiwa (mental) menjadi bagian terpenting bagi keberlangsungan hidup manusia. Karena eksistensi jiwa selalu dibatasi oleh tubuh kita sendiri, bagaimana kita selalu terluka oleh pengejaran kepuasan tubuh saja (kebutuhan primer), semisal mengejar (memenuhi) kebutuhan akan makan hingga puas, minum, kecakapan berpakaian, melakukan berhubungan suami istri, mengejar kekuasaan dengan segala cara, dan megedepankan egoisme dalam berbagai tatanan kehidupan masyarakat.
Terbukti, banyaknya tekanan hidup seolah meningkatkan intensitas kegalauan dalam keberlangsungan hidup manusia, mulai tekanan kecil hingga tekanan yang berskala besar seperti cemas terhadap masa depan. Begitu juga fenomena yang di luar kewajaran termasuk depresi, maraknya Bom bunuh diri, dan berbagai kasus kriminalitas lain yang semakin menjadi ancaman kesehatan jiwa (mental) manusia.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa menyatakan kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
Dalam teori neurosis, gangguan jiwa (mental) tidak sepenuhnya mengalami kendala seperti lupa diri, beberapa orang tetap memiliki kesadaran diri melalui tingkat ketidak beresan tingkah laku sehingga dapat disimpulkan hirarki syaraf biasanya akan berpengaruh terhadap orang lain yang juga akan terkendala atau bermasalah. Namun ketika ada seseorang yang ingin memelihara kesehatan mental, banyak yang percaya bahwa penyuluhan berupa terapi melalui ajaran agama dan mengamalkannya akan efektif karena berguna dan bermanfaat.
Dalam Islam, perilaku yang sesuai dengan perintah agama seharusnya dinilai baik, dan apa yang dilarang oleh agama seharusnya dinilai buruk. Islam sangat menghormati tradisi (perilaku yang ma’ruf), tetapi lebih mengutamakan tuntunan ajaran Islam yang baik.
Kepribadian dalam Islam telah banyak disinggung oleh para pemikir muslim yang sangat menginspirasi melalui karya-karyanya seperti Imam Al-Ghazali, Jalaluddin Rumi, Ibnu Miskawih, Ibnu Sina, Bediuzzaman Said Nursi, Ibnu Arabi, Mohammad Iqbal dan lainnya yang fokus yang membedah permasalahan “jiwa manusia sempurna”.
Terapi Bagi Kesehatan
Pada momentum Ramadan 1439 H, kiranya sangat tepat dijadikan sebagai bulan terapi bagi kesehatan jiwa. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata “puasa memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam menjaga anggota tubuh yang bersifat lahiriah dan juga kekuatan bathin serta melindunginya dari faktor-faktor pencemaran yang merusak. Jika faktor-faktor pencemaran tersebut telah menguasai dirinya, maka ia akan rusak”.
Salah satu yang menunjukkan bahwa puasa adalah terapi ruhani Rasulullah SAW “Apabila salah seorang di antara kita berpuasa, maka janganlah dia mengucapkan kata-kata buruk, jangan juga berteriak memaki. Bila ada yang memakinya, maka hendaklah ia berucap Aku sedang berpuasa, yakni aku sedang mengendalikan nafsuku sehingga tidak akan berbicara atau bertindak kecuali sesuai dengan tuntunan agama”.
Alan Cott (1977) melalui karya Fasting as a Way of Life dan Fasting the Ultimate Diet sebagaimana dialih bahasakan oleh Djamuluddin Ancok, bahwa ada keterkaitan antara puasa dengan gangguan kejiwaan. Disebutkan, puasa merupakan terapi yang diberikan dalam pasien sakit jiwa dalam 30 hari dan menunujkkan kesembuhan bagi pasien tersebut yang sebelumnya tidak dapat disembuhkan oleh terapi medis serta bisa dipastikan rata-rata pasien sembuh dan tidak kembali sakit setelah enam tahun enam tahun, puasa juga menyembuhkan penyakit susah tidur, merasa rendah diri.
Rasa haus dan lapar yang dialami oleh orang-orang Muslim yang berpuasa sebenarnya melatih orang untuk dapat merasakan bagaimana penderitaan hidup dengan memposisikan orang miskin dan orang miskin. Kondisi itu akan mampu melahirkan perasaan empati, yang mampu merasakan kehidupan orang miskin. Ini akan mengurangi arogansi dan yang paling kuat sehingga akan timbul dorongan untuk membantu orang lain.
Puasa Ramadan sesungguhnya terkandung muatan terapi psikologi yang sangat sistematis. Contoh sederhana, di bulan ini pula umat dilatih menjauhi hal-hal yang dapat mengurangi kesempurnaan puasa, misalnya bertengkar, memfitnah, berburuk sangka, berbohong, memutus tali silaturahmi, dan perilaku buruk lain. Melalui latihan menghindari perbuatan-perbuatan ini manusia akan terlatih pula untuk tidak memiliki iri, dengki, dan sifat tercela lainnya.
Dengan demikian, ibadah-ibadah yang dilakukan selama bulan Ramadan akan mampu membentuk kemampuan berfikir kognitif, afektif, dan konatif manusia menuju pengaktifan potensi potensi khalifiyah, jasadiyah, ruhiyah, aqliyah dan ubudiyah, yang semua itu hanya datang dari pancaran Allah.
Berpuasa akan mendorong lahirnya ketaqwaan serta kesabaran yang mendatangkan kebahagiaan abadi dalam menghadapi segala bentuk tantangan dan segala bentuk ujian, sehingga menjadikan kontrol tindakan bagi seseorang.
Bediuzzaman Said Nursi (1877-1960) mengatakan bulan Ramadan mempunyai sakralitas tersendiri umat Islam. Di mana pada bulan tersebut adalah bulan kebahagiaan bagi orang-orang bertakwa karena segala tindak hidupnya hanya sentiasa semata-mata mencari keridhaan Allah SWT dan tidak akan sekali-kali mengabaikan segala bentuk kewajibannya termasuk melaksanakan ibadah puasa.
Kejayaan dengan penuh bahagia bermakna ketika melaksanakan berpuasa pada bulan Ramadan bagi seseorang adalah menjadikan aktifitas dengan mengaktifkan pancaindera dan semua organ seperti telinga, mata, hati, dan juga pikiran turut sama berpuasa bersama-sama sebagaimana telah dirasakan oleh perut yaitu lapar.
Dengan ini akan menjauhkan manusia dari melakukan perkara yang sia-sia dan mendorongnya melakukan amalan pengabdian selama bulan Ramadan. [*]