Salah satu dosen Institut Agama Islam (IAI) Al-Khairat Pamekasan, Mufiqur Rahman berpartisipasi dalam ajang Konferensi Tahunan ke-3 untuk Cendekiawan Muslim yang digelar Kopertais Wilayah IV Surabaya, Sabtu hingga Minggu (23-24/11/2019).
Dalam kegiatan bertajuk “3rd Annual Conference for Muslim Scholars”, dosen yang tengah menempuh pendidikan doktoral di UINISMA Malang, mempresentasikan makalah berjudul ‘Tradisi Nyabis sebagai Simbol Etika Kepedulian (Ethics of Care) Kiai’.
Dalam makalah tersebut, Mufiq (sapaan akrab Mufiqur Rahman) menilai tradisi nyabis dilakukan sebagai bentuk motivasi pragmatisme masyarakat dalam rangka mensukseskan usaha duniawi, juga dilakukan sebagai upaya spiritual untuk mendapatkan barokah dari sosok kiai.
“Dalam makalah ini, kami memberikan penguatan bahwa tradisi nyabis dilakukan bukan hanya karena kepentingan pragmatisme ansih. Namun ada aspek etika kepedulian kiai yang utilitarian dan mendorong lahirnya trust santri dan masyarakat untuk tunduk kepada kiai,” kata Mufiqur Rahman.
Selain itu pihaknya menilai situasi tradisi nyabis sebagai bentuk simbol etika kepedulian kiai bagi para santri, dalam artian sosok kiai menjawab semua kebutuhan santri. “Dalam hal ini, kiai menjadi sosok multi fungsi, baik sebagai pembimbing rohani, perumus, pemimpin dan pengarah,” ungkapnya.
“Seperti disampaikan Tholhah Hasan, bahwa sosok kiai terkait dengan lingkungannya. Baik lingkungan sosial budaya, sebab disini kiai sangat terkait dengan persoalan sosial, budaya dan juga ekonomi masyarakat khususnya masyarakat santri,” sambung Mufiq.
Dalam makalah yang dikemas dalam bentuk penelitian tersebut, pihaknya memilih fokus kajian berbeda. Di antaranya ingin mengetahui secara interpretatif tentang motivasi santri dan masyarakat dalam tradisi nyabis yang telah mengakar di tengah masyarakat, khususnya masyarakat pesantren.
“Dalam penelitian ini, kami menggunakan penelitian kualitatif dengan jenis etnografi. Karena fokus penelitian ini bersifat alamiah dan induktif dengan menggunakan pendekatan multisitus dengan informan kunci, sehingga dalam pengambilan data dilakukan dengan cara menyaksikan langsung pola tradisi nyabis di pesantren,” jelasnya.
Tidak hanya itu, dalam kesimpulan dari proses penelitian yang dilakukan. Ia memberikan penilaian jika eksistensi tradisi nyabis tidak akan tergerus oleh kemajuan zaman. “Kami memiliki kesimpulan jika kemajuan zaman menjadi salah satu media untuk lebih memudahkan tradisi nyabis, tradisi ini akan terus dilakukan dan terjadi,” imbuhnya.
“Sosok kiai akan memainkan peranannya dalam social capital yang menjaga relasi atau hubungan antara individu dengan tingkat trust yang terjadi di antara mereka. Baik sosok kiai sebagai pengarah, pemimpin atau perumus dari sebuah nilai dan budaya pesantren,” pungkasnya. [adm]