Harus kita akui, pesantren sebagai salah satu pemicu terwujudnya kohesi sosial. Peran semacam ini diperoleh karena pesantren hadir tebuka dengan semangat kesederhanaan, kekeluargaan, dan kepedulian sosial.
Di antara beberapa fungsi pesantren, pertama, pesantren sebagai pusat keilmuwan dan pelestarian tradisi lokal berbasiskan Islamic studies. Kedua, sebagai pendidikan moral bangsa.
Dalam konteks perjalanan politik Indonesia, diakui atau tidak, pesantren telah bergeser menjadi salah satu bagian dari media kampanye politik yang mempunyai magnet yang sangat luar biasa.
Terbukti, pesantren sering dijadikan dalil argumentatif dan afirmasi bagi politikus dalam merebut kekuasaan. Menjelang pesta pilkada serentak, tidak sedikit calon kandidat memberikan bantuan agar mendapat dukungan dari kiai sebagai otoritas tertinggi di pesantren.
Bagi politikus, berkampanye dengan melibatkan pesantren dianggap sangat taktis dan strategis untuk meraup simpati masyarakat. Dibilang taktis karena sebagian besar masyarakat, terutama di Pulau Jawa pernah nyantri (alumni) di beberapa pesantren yang ada.
Dianggap strategis karena di kalangan tertentu pesantren mempunyai otoritas fatwa politik yang mampu menjadi magnet untuk meyakinkan masyarakat, terlebih bagi alumninya sendiri.
Terbukti, menjelang Hari Santri Nasional (HSN) yang jatuh setiap 22 Oktober, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), terutama dari partai yang memiliki hubungan kultural dengan pesantren, saling unjuk gigi berlomba mengesahkan RUU Pesantren pada 16 Oktober lalu.
Ironisnya, berdasarkan daftar hadir, 164 dari 560 anggota dewan meneken daftar hadir, tetapi sebanyak 132 anggota meminta izin pada saat itu.
Sakralitas politik kiai-santri
Keterlibatan kiai-santri dalam politik praktis sebenarnya merupakan bagian kecil wajah lama dari konfigurasi politik nasional. Namun, sejak era reformasi 98, geliat politik kiai kian marak mewarnai panggung perebutan kekuasaan.
Fenomena ini telah banyak menyita perhatian publik hingga pada level masyarakat pheriperal karena selama ini ketokohan kiai di beberapa daerah dikenal luas sebagai pendidik moral dan intelektual umat dengan melakukan dakwah ajaran agama Islam.
Sudah bukan menjadi rahasia umum, para kiai dan santri selalu punya pilihan dan orientasi politik yang jelas dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman sesuai dengan pemahamannya.
Karena itu, sering kali muncul perbedaan sengit antara kiai-santri dalam sikap politik. Bahkan, berujung pada komunikasi yang tersendat di antara mereka. Pada konteks ini, perpecahan itu menjadi fakta yang terkadang tidak terbantahkan.
Kaitannya dengan persoalan apakah pesantren harus ikut andil menjelang pesta demokrasi 2019, penulis mencoba membagi tipologi masyarakat ke dalam dua golongan.
Pertama, tipologi masyarakat yang menolak keras agar pesantren (kiai) ikut campur dalam persoalan demokrasi. Kubu ini berasumsi jika pimpinan pesantren berpartsipasi dalam politik apalagi menjadi juru kampanye di kubu tertentu maka akan menimbulkan konflik.
Kedua, tipologi masyarakat yang mewajibkan supaya pesantren (kiai) harus berpartisipasi dalam persoalan poltik. Mereka menganggap satu-satunya pemimpin adil, bijaksana hanya bisa dilahirkan dari pesantren dan dapat fatwa dari seorang pemimpin pesantren.
Keputusan kiai sangat mempunyai peranan besar dalam perwujudan tujuan politik. Dalam bacaan masyarakat, keikutsertaan kiai adalah keikutsertaan pesantren maka harus mampu membimbing lebih dewasa menjelang hajatan demokrasi, terutama Pilpres 2019.
Sebagaimana diungkapkan Eric Wolf, antropolog asal Amerika, kiai itu harus bertindak sebagai culture broker yakni sebagai pendobrak budaya dan penyampai nilai-nilai sosial dan kultural adiluhung di tengah masyarakat.
Bukti empiris menunjukkan, keberadaan pesantren dalam suksesi demokrasi mempunyai peran integratif, perekat rasa persaudaraan, kepedulian sosial maupun kebangsaan, penyelaman, penghayatan intensif atas subtansialitas sesuai ajaran agama dan kesederhanaan.
Beberapa langkah yang harus dilakukan pesantren (kiai) kepada masyarakat terkait posisi Pesantren dalam mengawal demokrasi. Yaitu, tiada lain menjaga keseimbangan perbedaan pendapat dalam berpolitik terutama di masing-masing para alumni.
Pesantren melalui para kiai harus mampu menghadirkan wajah demokrasi yang bermartabat kepada masyarakat dengan mempertahankan independensinya.
Penyuluhan politik penyadaran kepada masyarakat nusantara ini melalui pendidikan moral poltik, sehingga menghasilkan sebuah pemikiran dan tindakan yang proporsional dalam melakukan sebuah langkah untuk memilih pemimpin.
Para kiai dan santri harus sadar dengan menggunakan pola pikir produktif dan inovatif dalam merespons isu politik yang bagian dari human capitalberoreintasi dalam jangka yang relatif panjang dan hasilnya tidak dapat dinikmati dalam waktu jangka pendek.
Seperti keseriusan dan ketekunan untuk meningkatkan kualitas penalaran sikap politik yang harus diimbangi peningkatan berupa apresiasi solutif bagi problem-problem sosial kebangsaan.
*Dosen IAI Al-Khairat Pamekasan, tengah menempuh studi doktoral di UMY
Tulisan juga diterbitkan di Kolom Republika.co.id
Tinggalkan Komentar