Oleh: Dr. Ridwan, S.Pd., M.Kpd*
Pesantren secara sosiologis dapat dikategorikan sebagai subkultur dalam masyarakat karena ciri-cirinya yang unik, seperti cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti serta hierarki kekuasaan yang berbeda. Pesantren secara lahiriyah memiliki simbol fisik yang terdiri dari masjid, pondok, rumah tinggal kiai. Simbol tersebut memberi makna bahwa pola kehidupan khas komunitas beragama yang memiliki anggota para santri dengan kiai sebagai pemimpin utamanya.
Dalam perjalanannya setiap sub kultur kehidupan pasti memiliki dinamika. Gerak aktifitas yang bersifat formal maupun non fomal berubah sesuai dengan dinamika internal dan eksternal. Dinamika internal dapat dilihat dari perubahan pola pendidikan baik dalam bentuk mengaji kitab maupun proses kegiatan pembelajaran dalam sistem pendidikan yang dikelolanya. Faktor eksternal tetap mengacu pada kemajuan teknologi, khususnya teknologi digital dengan segala infra dan supra struktur yang terkandung di dalamnya.
Pesantren dapat dikatakan satu kekuatan struktur sosial yang sumbangsihnya pada bangsa ini sangat besar, mulai perjuangan memperebutkan kemerdekaan, pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan, membangun nilai-nilai spritualitas lewat pendidikan agama, mengajarkan perilaku luhur (ta’dib) dan keteladanan (uswah hasanah) dan juga mengajarkan penghargaan akan perbedaan suku, ras, bahasa serta menciptakan pergaulan yang dalam istilah Gus Dur sebagai kosmopolitanisme pesantren karena pergaulan yang lintas suku, bahasa dan daerah.
Pesantren juga tempat dikadernya pemimpin masa depan sehingga ketika para santri pulang ketengah-tengah masyarakat selalu siap mengambil peran sesuai dengan keinginan dan kehendak masyarkat. Pemimpin yang dimaksud bukan bermakna formal dan politik, akan tetapi kepekaan dan kepedulian akan lingkungan sekitar yang mencerahkan menuju kearah yang lebih baik.
Santri merupakan komponen essensial dalam komunitas pesantren. Sub kultur ini dipandang maju dan berhasil dengan indikator utama santri yang banyak, meskipun hal ini masih harus diperdebatkan. Masyarakat memiliki terminologi sendiri dalam membuat parameter kehidupan. Simbol-simbol sederhana tetap dijadikan ukuran dalam rangka menguatkan argumentasi tentang fenomena yang menjadi bagian strata kehidupan sosial masyarakat.
Santri secara etimologi konon berasal dari bahasa sanskerta “shastri” yang memiliki makna orang yang belajar kalimat suci dan indah, yang dalam pandangan Wali Songo adalah berarti kitab suci Al-Qur’an dan Hadist (Siradj, 2014). Kalimat tersebut diajarkan, dipahami dan dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Santri diasumsikan oleh Clifford Geertz sebagai golongan yang berusaha mengamalkan Islam sesuai dengan ajaran yang pertama datang kepada mereka.
Geertz menyebut pula golongan ini adalah Islam yang berada dalam lingkaran ajaran Islam yang sangat mendasar. Tradisi keagamaan kalangan santri, tidak terbatas pada pelaksanaan yang cermat dan teratur atas pokok peribadatan Islam, tetapi juga suatu keseluruhan yang kompleks dari organisasi sosial, kedermawanan dan politik Islam.
Santri sebagai bagian dari dunia pesantren, selalu menarik untuk di bicarakan. Keunikan santri dapat dilihat dari pergaulan hidup ketika ada dalam lingkup pesantren yaitu sarungan, pakai kopiah, sandal jepit, mengaji sorogan dan bandongan diikuti dengan pendidikan formal, menempati ruang sempit ketika tidur merupakan ciri yang masih melekat sampai saat ini. Kemajuan teknologi ternyata juga tidak kemudian meniadakan ciri khas sebagai pembeda dari komunitas sub kultur kehidupan masyarakat.
Kehidupan yang demikian bukan lantas meletakkan posisi santri pada strata yang rendah dalam kehidupan sosial masyarakat, tapi merupakan bentuk pengejewantahan pola perilaku yang bersifat prihatin dan ditanamkan betul di dalam sanubari para santri agar kelak ketika kembali ketengah-tengah masyarakat mempunyai kepekaan nurani dan empati tanpa melihat latar belakang kelompok masyakat disekitarnya.
Fase Disrupsi
Arus globalisasi serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki imbas yang sangat besar terhadap dunia pesantren. Penggunaan teknologi komputer yang merupakan bagian dari komponen teknologi informasi, secara masif juga diadopsi oleh dunia pesantren.
Rasanya pada saat sekarang tidak ada pesantren yang tidak berbasis internet dengan dunia online sebagai bagian terdepan dalam menginformasikan dan menggambarkan berbagai macam aktifitasnya. Sistem kerja manajemen sudah lumrah menggunakan berbagai macam aplikasi dalam rangka kerja efisien. Maka kekayaan tradisi dan keunikan yang dimiliki pesantren dapat berkelit berkelindan menuju puncak sebuah tradisi dan kejayaan baru sebagai respon majunya dunia digital. Modernisasi harus bisa dilewati oleh pesantren agar sistem, tradisi dan proses kegiatan kepesantrenan tetap menjamin ruh dunia pondok pesantren itu sendiri.
Revolusi teknologi digital membawa pada tatanan dunia baru yang dikenal dengan disrupsi. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, disrupsi didefinisikan hal tercabut dari akarnya. Jika diartikan dalam kehidupan sehari-hari, disrupsi adalah sedang terjadi perubahan fundamental atau mendasar, yaitu evolusi teknologi yang menyasar sebuah celah kehidupan manusia (kabar banten, 9 Januari 2018). Digitalisasi tersebut mengubah semua tatanan, termasuk tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan. Aktifitas yang semula dilakukan di dunia nyata bergeser menjadi dunia maya.
Dalam kondisi seperti itu kita harus mempunyai pilihan, membentuk ulang (reshape) atau menciptakan yang baru (create). Jika kita memutuskan untuk reshape, maka kita bisa melakukan inovasi dari produk atau layanan yang sudah dimiliki. Sedangkan jika ingin membuat yang baru, kita harus berani memiliki inovasi yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan stakeholder.
Memang terdengar klise, namun apabila kita dapat membacanya situasi dengan baik kemudian melihat peluang yang ada, maka kitapun bisa bertahan di era disrupsi. Era disrupsi yang tengah kita alami ini, tidak bisa dihindari, tidak bisa lagi hanya menyalahkan keadaan tanpa merumuskan strategi untuk dapat bertahan, sehingga tetap keluar sebagai pemenang.
Sebagai hasil dari pergulatan tradisi, kebudayaan, sistem pengajaran klasikal, dan pola hubungan interaksi kiai-santri-masyarakat yang dibangunnya, pesantren akhirnya memiliki pola serta klasifikasi yang spesifik. Corak dan ragam jenis pesantren dapat dilihat dari struktur dan sistem pengajaran yang ada.
Pada perkembangan mutakhirnya, pesantren (terutama pesantren tradisional) dianggap sebagai lembaga edukasi yang kurang relevan dan tidak menjanjikan masa depan. Sistem dan metodologi pesantren dianggap ketinggalan zaman bila tidak berubah mengikuti perkembangan modern.
Oleh sebab itu sudah selayaknya pesantren dengan ruh tradisionalitas menuju modernitas berusaha membentuk ulang (reshape) dari apa yang dilakukan selama ini. Sistem pendidikan, layanan dan komunikasi menjadi pilihan utama untuk dilakukan perbaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan santri, orang tua santri serta masyarakat yang memiliki hubungan emosional dan kultural.
Evolusi dan adaptasi yang mengacu pada fase disrupsi sejalan dengan keinginan kemasyarakat tanpa kemudian menghilangkan nilai-nilai luhur tradisi yang sudah turun temurun. Dengan reshafe, pesantren tidak hanya menghasilkan santri yang ahli di bidang agama, tapi juga ahli yang lain, misal ekonomi, politik, hukum, budaya, sosial, seni teknologi yang dikembangkan dengan secara serius karena bersifat elementer dan primer.
Selain melakukan reshape pesantren juga dapat melakukan create atau inovasi baru. Dengan infrastruktur yang dimilikinya, pesantren sanggup menciptakan hal-hal baru. Misalnya tempat pelatihan (inkubator) dibidang ekonomi, berbagai macam teknologi sehingga santri memiliki bekal keilmuan yang multidisiplin dan multitalenta sebagai bekal berkompetesi ketika kembali ke masyarakat.
Kehidupan yang bersifat unpredictable bukan sesuatu yang menakutkan tapi bentuk kompetisi yang harus dimenangkan. Apa yang dikembangkan oleh pesantren mungkin memiliki makna yang berbeda, karena ditopang oleh pondasi nilai-nilai agama dan keteladan moral yang tidak hanya diajarkan, tapi diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari di pesantren.
Perpaduan tradisonal modern menjadi kekayaan sendiri dalam menapak kehidupan masa depan. mensinkronisasi antara konsep pendidikan khas pesantren dengan konsep modern jangan sampai menghilangkan tradisi serta visi misi pesantren.
Pada prinsipnya, pesantren tidak apatis terhadap modernitas dan tuntutan zaman, mengingat itu sebuah keniscayaan (sunatullah) dan bukan monopoli kelompok tertentu. Sinergitas tradisi pesantren dengan modernitas juga bukan hal yang utopis mengingat keduanya merupakan respon atas realitas. Seyogyanya, pembaruan dalam sistem, tradisi, dan kurikulum pesantren tetaplah mengedepankan spiritual (memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik).
Selamat Hari Santri Nasional, semoga pesantren tetap menjadi bagian terdepan dalam menjaga NKRI, membina nilai-nilai spritualiatas, keimanan, moral, peradaban dan keberagaman.
*Penulis Dosen IAI Al-Khairat Pamekasan. Artikel ini juga terbit di Kabar Madura edisi Selasa, 23 Oktober 2018
Tinggalkan Komentar