Oleh: Moh. Hafidurrahman*
Merayakan tahun baru Hijriyah? Tidak ada anjuran dalam Islam merayakan tahun baru Hijriyah, karena memang di masa Rasulullah SAW belum ada tahun, yang ada hanyalah nama bulan. Tetapi bukan berarti kita sebagai Umat Islam tidak peduli terhadap tahun barunya sendiri. Sebaliknya kita harus merayakan tahun baru ini dalam bentuk yang lebih baik, momentum perubahan diri kearah yang lebih baik.
Merayakan tahun baru Hijriyah tidak harus dengan hiruk pikuk, arak-arakan seperti yang terjadi dewasa ini. Tetapi seharusnya lebih kepada bagaimana kita menumbuhkan nilai-nilai yang terkandung dalam hijrah itu sendiri. Kita tahu mengapa sayyidina Umar ibn Khottob menjadikan hijrahnya Rasulullah sebagai awal tahun baru Islam, karena darisinilah Umat Islam terbebas dari ketertindasan, dari sinilah terbentuk tatanan sosial Islam yang dibangun Rasulullah. Sehingga terbentuk masyarakat Madani (periode Madinah) yang akrab kita kenal civil society.
Bahkan Kiai Tijani menyatakan dalam sebuah seminar hari besar Islam, bahwa Madinah mempunya gelar Al-Munawwarah karena momentum Hijriyah. Al-Munawwarah berarti bersinar. Artinya sejak hijrah itu Islam bersinar memancar dari Madinah bersinar ke Iraq, Syiria, Persia, Romawi, Andalusia hingga Turki. Bersinarnya kejayaan Islam tersebar ke penjuru dunia itu dimulai dari Hijrah Rasul yang disebut sebagai Inthilaaqon awwal, “titik permulaan kejayaan Islam”. Maka tidak heran jika Sayyidina Umar menjadikannya sebagai tahun lahirnya Islam.
Peristiwa Hijrah yang dilakukan Rasulullah bukan sebuah peristiwa biasa, tapi sebuah momentum besar dalam pengambilan keputusan seorang stakeholders dalam membaca situasi Makkah dan Madinah. Ia sangat mengerti percaturan gerakan masif lawan, baik di Makkah maupun di Madinah.
Saat suasana Makkah sudah tidak memungkinkan, maka hijrah adalah sebuah keharusan. Ada banyak hal yang dapat dilakukan Rasulullah ketika berada di Madinah. Ia berhasil membangun perdaban Madinah dalam jangka waktu 8 tahun, bahkan ia juga berhasil menyatukan penduduk Makkah dan Madinah dalam ikatan ukhuwah Islamiyah tanpa pandang ras dan golongan sekaligus mendamaikan dua golongan Madinah; Kaum Az dan Khozroj yang bertahun-tahun mereka saling serang.
Tidak hanya itu, Rasulullah SAW juga berhasil memisahkan siapa yang muslim sejati dan siapa yang munafik, ia mencetak generasi-generasi unggul sekelas Abu Bakar, Umar ibnu Al-Khottob, Utsman Ibnu Affan, Ali ibnu Abi Thalib dan yang lainnya yang mungkin tidak bisa kita temui zaman setelahnya. Dari generasi-generasi itulah mereka berhasil menancapkan tonggak-tonggak Islam di seluruh dunia.
Dari sini ada beberapa hikmah dan ghiroh yang dapat kita ambil dari peristiwa Hijrahnya Nabi Muhammad SAW dan para sahabat dari Mekah ke Madinah saat itu; Pertama Ghiroh bangkit dari keterpurukan, perisitwa hijrah ini mempunyai makna yang sangat berarti bagi setiap Muslim dan merupakan tonggak sejarah yang monumental, karena hijrah ini merupakan tonggak kebangkitan Islam yang semula diliputi suasana dan situasi yang tidak kondusif di Mekah menuju suasana yang prospektif di Madinah.
Kedua Ghiroh mujahadah/perjuangan, berhijrah bukan perkara mudah, tapi betul-betul butuh kesiapan mental dan ketahanan jiwa raga yang tinggi. Bayangkan perjalanan para sahabat dari Mekkah ke Madinah dalam ribuan kilo mereka tempuh demi sebuah perjuangan kearah yang lebih baik, hidup yang jauh dari ketertindasan dan perjuangan untuk masa depan anak-anak bangsa.
Ketiga Ghiroh opimisme yang tinggi, yaitu semangat berhijrah dari hal-hal yang buruk kepada yang baik, dan hijrah daru hal-hal yang baik ke yang lebih baik lagi. Rasulullah SAW dan para sahabatnya telah melawan rasa sedih dan takut dengan berhijrah, meski harus meninggalkan tanah kelahiran, rumah, sanak famili dan harta benda mereka.
Keempat Ghiroh persaudaraan, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW pada saat mengikat tali persaudaraan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar, bahkan ia juga telah membina hubungan baik dengan beberapa kelompok Yahudi yang hidup di Madinah dan sekitarnya.
Dalam konteks kehidupan sekarang ini, pemaknaan hijrah tentu tidak harus identik dengan meninggalkan kota kelahiran seperti yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabah, tetapi lebih kepada nilai-nilai dan semangat berhijrah itu sendiri. Karena hijrah tidaklah bermakna sempit, dan hijrah tidak akan pernah berhenti selama hayat di kandung badan.
Dalam sebuah riwayat dikisahkan, ada seorang yang mendatangi Rasulullah dan berkata: “Wahai Rasulullah, saya baru saja mengunjungi kaum yang berpendapat bahwa hijrah telah telah berakhir”, Rasulullah bersabda: ”Sesungguhnya hijrah itu tidak ada hentinya, sehingga terhentinya taubat, dan taubat itu tidak ada hentinya sehingga matahari terbit dari sebelah barat”.
Jadi walaupun tanpa perpindahan kota, dari tempat ke tempat yang lain, hijrah itu tetap ada. Hijrah dari kikir menjadi dermawan, dari pemalas menjadi semangat, dari pembenci menjadi pemaaf, dari penghasut menjadi penebar kebaikan, dari bodoh menjadi pintar, dari pemarah menjadi penyabar, dan dari pesimis menjadi optimis dan lainnya.
Mutiara-mutiara hijrah ini akan terus ada dan tak lekang oleh waktu, selama pintu taubat belum tertutup, selama matahari belum terbit dari barat mari kita selalu melakukan hijrah. Semoga kita semua bisa melakukannya. Aamiin.
*Dosen IAI Al-Khairat Pamekasan
Tinggalkan Komentar