Oleh: Aang Kunaifi, SE., M.EI*
Hijriyah merupakan penanggalan ummat Islâm mulai digunakan semasa Khalîfah Umar bin al-Khaththâb Radiyallahu ‘Anhu. Awal Tahun Hijrah berpatokan pada peristiwa hijrah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dari Makkah ke Madinah yang disepakati tepat pada bulan Muharram.
Keputusan Khalîfah Umar bin al-Khaththâb tersebut [yang kemudian disepakati oleh para sahabat] tentu memiliki makna besar. Peristiwa hijrah Baginda Nabi SAW dari Makkah ke Madinah adalah momentum penting dalam lintasan sejarah perjuangan Islâm dan kaum Muslim. Dengan hijrah itulah masyarakat Islâm terbentuk untuk pertama kalinya, lewat pintu hijrah itu pula Islam sebagai sebuah ideologi dan sistem bisa ditegakkan dalam intitusi negara, yakni Daulah Islâmiyyah di Madinah Al-Munawwarah.
Dalam aspek ekonomi, Rasulullah SAW sebagai kepala negara meletakkan tonggak terpenting atas eksistensi dan urgensi pemerintah dalam menetapkan policy keekonomian. Mengutip pernyataan Nizar Abazhah yang artinya: “Nabi mengelola perekonomian Madinah sejalan dengan sistem dan ajaran yang diwahyukan Allah. Sebuah sistem paripurna yang tidak membiarkan satu sisi pun aktivitas ekonomi terluput dari pengaturan. Jual beli, sistem usaha, pertanian pelayanan, keterampilan dan semua hal yang terkait dengan urusan finansial diatur sebaik-baiknya agar tidak melenceng dari tata perekonomian yang sehat. Sehingga lahirlah sistem yang khas, yang kemudian dikembangkan umat Islam menjadi undang-undang moneter yang tangguh dan tahan guncangan, tidak seperti sistem-sistem yang lain yang rapuh dan rawan”
Makna dan Spirit Hijrah
Hijrah secara bahasa berarti berpindah dari suatu tempat ke tempat lain, dari suatu keadaan ke keadaan lain (Lisân al-‘Arab, V/250; Al-Qâmûs al-Muhith, I/637). Menurut Rawas Qal’ah Ji dalam Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’, secara tradisi, hijrah bermakna keluar atau berpindah dari satu negeri ke negeri yang lain untuk menetap di situ. Menurut al-Jurjani dalam At-Ta’rifât, hijrah adalah meninggalkan negeri yang berada di tengah kaum kâfir dan berpindah ke Dâr al-Islâm.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Muslim itu adalah orang yang menjadikan Muslim yang lain selamat dari lisan dan tangannya. Orang yang berhijrah itu adalah orang yang meninggalkan apa saja yang telah Allah larang,” (HR al-Bukhârî, Abu Dawud, an-Nasâ’i, Ahmad, dll).
Ibnu Hajar al-Asqalâni di dalam kitab Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, juga al-’Alqami yang dikutip di dalam ‘Awn al-Ma’bûd, menjelaskan bahwa hijrah itu ada dua macam: zhâhirah dan bâthinah.
Hijrah bâthinah adalah meninggalkan apa saja yang diperintahkan oleh hawa nafsu yang selalu memerintahkan keburukan (nafsu al-ammârah bi as-sû’) dan seruan setan. Hijrah zhâhirah adalah lari menyelamatkan agama dari fitnah (al-firâr bi ad-dîn min al-fitan).
Secara syar’i, menurut para fuqahâ, pengertian hijrah adalah keluar dari darul kufur menuju Dârul Islâm (An-Nabhânî, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, II/276). Darul Islam adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariah Islâm secara total dalam segala aspek kehidupan dan keamanannya secara penuh berada di tangan kaum Muslim. Sebaliknya, dâr al-kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariah Islâm dan keamanannya tidak berada di tangan kaum Muslim sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islâm. Pengertian hijrah semacam ini diambil dari fakta hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang saat itu merupakan dârul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Dârul Islâm).
Dari semua itu, hijrah mungkin bisa dimaknai sebagai momentum perubahan dan peralihan dari kemaksiatan menuju ketaatan, dari segala bentuk jahiliyah menuju Islâm dan dari masyarakat jâhiliyyah menuju masyarakat Islâm. Esensi atau substansi hijrah adalah semangat dan keharusan manusia khususnya ummat Islam untuk bangkit menuju keadaan yang lebih baik, yaitu dengan mengambil hukum-hukum Allah sebagai regulasi dalam setiap aktivitasnya. Dalam aspek ekonomi maka spirit hijrah bisa dimaknai sebagai upaya meninggalkan seluruh sistem transaksi yang tidak sesuai dengan syari’ah berganti melaksanakan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan transaksi/muamalah syar’i. Subjek hijrah dalam aspek ekonomi tidak lain adalah individu atau rumah tangga, corporate/entitas bisnis, dan pemerintah sebagai pembuat regulasi.
Mengapa Perlu Berhijrah?
Untuk menemukan argumentasi perlunya hijrah saat ini, tentu harus diuraikan permasalahan utama yang menjadi motivasi untuk ber-hijrah yang tujuannya adalah mencari solusi bagi kemashlahatan manusia secara kesuluruhan. Beberapa fakta yang dimaksud antara lain:
Rumah Tangga dan Entitas Bisnis
Rumah tangga dan entitas bisnis (korporasi) dalam kegiatan ekonomi merupakan pelaku langsung/utama dalam aktivitas produksi dan konsumsi. Budaya konsumsi dan produksi yang masih harus diubah diantaranya:
Pertama, Israf yaitu prilaku berlebihan dalam kuantitas melampaui batas kebutuhan. Prilaku ini sebagian besar didorong oleh spekulasi yaitu menumpuk-numpuk benda atau harta (menimbun) untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar di masa yang akan datang. Dampak langsung prilaku (produksi dan konsumsi) semacam ini akan menimbulkan labilitas dan fluktuasi harga yang tidak rasional. Dampak lainnya adalah menghambat distribusi sumberdaya yang pada akhirnya akan menimbulkan kesenjangan. Di samping itu dalam lingkup persaingan akan memukul pengusaha-pengusaha yang bermodal pas-pasan.
Kedua, Tabdzir yaitu konsumsi dan produksi baik barang atau jasa yang tidak selayaknya. Maksudnya melakukan kegiatan ekonomi yang objek produknya tidak memiliki nilai manfaat bagi manusia, yaitu barang atau jasa yang tidak memenuhi syarat halal dan thayyib. Prilaku ekonomi semacam ini akan merusak peradaban manusia; akan menyuburkan penyakit sosial yang pada akhirnya akan meningkatkan kriminalitas, amoralitas, dan dehumanisasi.
Ketiga, Sistem transaksi (aqad muamalah) yang masih kental dengan ribawi, gharar, dan tadlis. Yaitu sistem keuangan yang masih menggunakan akad riba, manipulasi, curang, bahkan tidak sedikit transaksi-transaksi besar yang membiasakan dengan riswah (suap/sogok).
Keempat, Pemerintah sebagai regulator tidak cukup hanya menerapkan mekanisme pasar bebas, tetapi juga harus menerapkan mekanisme pasar yang rasional dan berkeadilan. Pemerintah sebagai pengendali perekonomian negara wajib memberikan iklim produksi yang kondusif sekaligus protektif sehingga setiap warga negara mampu mengeksplorasi sumberdaya alam dengan aman dan nyaman. Namun dengan menerapkan sistem ekonomi kapitalis, pemerintah cenderung membuat regulasi yang hanya menguntungkan para kapitalis atau pemilik modal. Dampaknya kapitalisasi sumberdaya ekonomi hanya terkonsentrasi kepada segilintir orang (the have) saja.
Inilah yang kemudian mencatatkan data empiris rasio gini kita berada pada angka 0,42. Angka yang menunjukkan betapa kesenjangan ekonomi di negara kita masih sangat curam. Penerapan sistem demokrasi dalam politik dan pemerintahan yang berbiaya tinggi juga memicu meningkatnya angka korupsi. Bayangkan ineficiency capital output ratio (ICOR) sudah berada di level 0,6 yang artinya kebocoran dana untuk kegiatan produktif (belanja modal) APBN hampir senilai 60%. Parahnya, pemerintah kita juga harus menanggung bunga hutang ratusan triliun rupiah setiap tahunnya akibat defisit APBN yang ditutupi dengan hutang luar negeri ribawi.
Karena itu keempat fakta di atas sangat tepat jika disebut kejahiliyahan modern (dalam sistem ekonomi khususnya). Maju secara sains dan teknologi, namun aturan dan sistem ekonominya tetap aturan dan sistem jâhiliyyah, yaitu aturan dan sistem ekonomi yang diadopsi dari kejeniusan manusia semata dan mengabaikan sistem ekonomi rabbani.
Spirit Kebangkitan Ekonomi
Segera bangkit! Itulah kata-kata yang tepat untuk mengubah keterpurukan ekonomi kita menuju kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang barokah. Ibarat oase di padang pasir, para intelektual dan ekonom kita saat ini mulai menyuburkan dan menggemakan kegiatan ekonomi Islam atau ekonomi syari’ah, baik dalam dunia edukatif maupun dunia praktis. Kesadaran masyarakat untuk berkeonomi secara Islam harus dipupuk dan diinternalisasikan baik oleh rumat tangga/individu, korporasi, serta pemerintah.
Perubahan tentu tidak akan datang begitu saja. Perubahan itu harus kita usahakan. Alláh Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam QS. Ar-Ra’du [13]: 11 yang artinya: “…Sungguh Allâh tidak mengubah keadaan sesuatu kaum hingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,”.
Mewujudkan spirit hijrah itu tidak lain adalah dengan berjuang untuk membangun masyarakat Islâm. Masyarakat Islám inilah yang juga dibangun oleh Rasul saw. dan para sahabat pasca hijrah ke Madinah. Masyarakat di Madinah pasca hijrah tetaplah masyarakat yang beragam, heterogen secara agama, suku, warna kulit dan lainnya. Keberagaman di masyarakat itu bisa dikelola dengan baik melalui penerapan syariah Islâm secara kâffah atas semua warga negara.
Bagaimana menginternalisasikan dan menerapkan sistem ekonomi Islam? Simak di artikel selanjutnya, Wallâhu A’lam.
*Penulis adalah dosen sekaligus Ketua Prodi Ekonomi Syari’ah STAI Al-Khairat Pamekasan
Tinggalkan Komentar