Oleh: Abdul Gaffar*
Dzulhijjah merupakan salah satu bulan penting bagi umat Islam. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah, “sepuluh hari di siang dzul hijjah lebih utama dari sepuluh hari di bulan Ramadhan, dan sepuluh hari di malam-malam bulan Ramadhan lebih utama dari sepuluh malam di bulan dzulhijjah”. Tentu tidak lepas Nabi Ibrahim dan Ismail, tepat pada 10 Dzul Hijjah terjadi persitiwa sejarah berupa perintah penyembelihan terhadap Nabi Ismail yang tidak lain adalah putra Nabi Ibrahim.
Ilustrasi dialog yang mendebarkan antara ayah dan anak (Ibrahim dan Ismail) dijelaskan dalam QS. Ash Shoffat, 37: 102, di mana Ismail merelakan ayahnya untuk menyembelih dirinya, “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.
Percakapan harmoni spritual antara Nabi Ibrahim berserta putranya (Nabi Ismail) sebagai bentuk aktualisasi diri ujud dari ibadah kurban sepanjang peradaban manusia. Nabi Ibrahim berhasil dengan punuh ikhlas menjelankan segala perintah-perintah Allah meskipun banyak cobaan dan hambatan untuk mengurungkan niatnya agar tidak menyembelih putranya baik dari instrinsik (nafsu) dan ekstrinsik (syetan).
Aktualisasi diri Berkurban
Mengarah pada sang empunya teori humanistik, Abraham Maslow (1971), aktualisasi diri (self actualization) merupakan puncak yang paling penting dari segala perwujudan potensi setiap individu manusia, karena hidupnya dipenuhi oleh gairah-gairah yang sangat dinamis dan tanpa pamrih, maka ketika aktualisasi diri menucul konsentrasi penuh dan terimplementasi dengan secara totalitas dalam mewujudkan manusia superman atau uverman yang dalam Islam dikenal dengan istilah insan al-kamil (manusia sempurna).
Aktualisasi diri (kurban) Nabi Ibrahim bagian dari proses self transendence, dalam bahasa Maslow sebagai selfless (ketiadaan diri) yang bekerja pada sebuah panggilan dan merupakan being value, salah satunya munculnya kreativitas yang berarti merasa hilang di masa sekarang, abadi, tanpa pamrih dan bera di luar diri sendiri. Self transendence meliputi keikhlasan, yang berarti ibadah kurban yang kita lakukan harus murni dilakukan hanya semata-mata karena Allah dan dalam rangka menjalankan perintah-Nya.
Seorang Sigmun Freud (1856) mengatakan dalam diri seseorang terdapat tiga sistem kepribadian, yang disebut id, Ego dan super ego. Id adalah kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis manusia pusat insting, dan ego mediator antara hasrat-hasrat hewani dan tuntutan rasional dan realistik. Sedangkan, super ego berisi kata hati yang berhubungan dengan lingkungan sosial dan mempunyai nilai-nilai moral sehingga merupakan kontrol atau sensor dari setiap dorongan-dorongan yang datang dari Id.
Selama ini, masih ada sebagian individu atau kelompok yang berusaha menguasai kekayaan negara sehingga mengakibatkan krisis sosial adalah bukti masih lemahnya jiwa aktualisasi “kurban” Nabi Ibrahim di negeri ini. Indikator keberhasilan jiwa aktualisasi diri (kuban) ditandai dengan kebiasaan mengutamakan kepentingan publik dari pada kepentingan diri sendiri. Paling tidak, momentum Idul Kurban 10 Dzulhijjah kali ini menjadi bagian dari proses pemangkasan ego dan nafsu.
Memangkas Ego dan Nafsu
Kita sebagai umat beragama dituntut selalu mampu memangkas nafsu id, ego dan super ego, seperti cinta dunia, harta, kedudukan, wanita dan lain-lain. Meminjam bahasa Imam Al-Gazali (dalam Islam) wajib mampu menaklukkan dari hal-hal yang bersifat al-Quwwah al-Syawati (kekuatan syawat) atau al-quwwah al-bahimiyah (kekutan ego dan super ego) yang tumbuh dan berkembang bersama dengan perkembagan fisik. Jika mampu menaklukan, maka akan tumbuh jiwa fitrah selalu hidup melalui ibadah yang mampu meredam dan yang selalu menyala-nyala dalam diri kita sebagai manusia.
Oleh karena itu, simbol penyembelihan hewan kurban bagian dari aktifitas mendekatkan diri kepada Allah dan tidak lain merupakan simbol mengubur keburukan yang melekat dalam jiwa. Kesanggupan bagi individu untuk berkurban bagian dari aktualisasi diri “kurban” yang selalu siap sedia melakukan pengorbanan apa saja sebagai wujud kecintaannya kepada Allah, maka perintah penyembelihan hewan kurban (ajaran Nabi Ibrahim) sebagai bentuk pemotongan atas syawat tercela dan ego berupa sifat-sifat kebinatangan seperti serakah, rakus, menindas, membunuh, memperkaya diri sendiri melalui korupsi.
Napak tilas Nabi Ibrahim AS di setiap melaksanakan perintah Allah tidak lain merupakan teladan bagi semua umat manusia di muka bumi, sungguh beliau sangat sanggup dan termasuk rela untuk berkurban apa saja demi mendapatkan Ridho Allah. Seorang yang beriman akan memberikan sesuatu yang paling dicintainya kepada Allah SWT, karena pengorbanan sesungguhnya bukan hanya harta benda, melainkan juga jiwa, raga, hati dan pikiran yang semata-mata karena Allah.
Keberhasilan aktualisasi diri (kurban) Nabi Ibrahim merepresentasikan upaya pencapaian nilai-nilai kebaikan sejati yang pada prinsipnya bersifat moralitas perenial dan universal, berlaku adil kepada siapa saja, dan mengembangkan kesederajatan dalam kehidupan.
Emha Ainun Najib (Cak Nun) pernah mengatakan, “kalau kita sedang “disembelih” Allah (berkurban), maka kita harus ikhlas dan tulus agar kita mendapatkan domba sebagaimana Ibrahim menyembelih Ismail”. Hakikat manusia adalah makhluk yang lemah (dhaif) dan hina di hadapan Allah. Sebagai makhluk lemah, maka kita sebagai manusia hanya bisa berharap dan memohon melalui untaian banyak doa akan kasih sayang-Nya. Wallahu a’lam bi al-Shawaf.
*Penulis adalah Dosen STAI Al-Khairat Pamekasan, saat ini tengah menempuh jenjang pendidikan Program Doktor Psikologi Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Tinggalkan Komentar