Oleh: Abdul Gaffar*
Musibah datang tidak diundang, ketika alam sudah mulai tidak bersahabat barulah kita sadar bahwa alam sudah tidak lagi bersinergi dengan manusia. Berbagai banyak bencana yang telah melanda di Tahun 2017, mulai dari bencana gempa di Pidie Aceh Jaya dan banjir di Bima, Nusa Tenggara Barat.
Begitu pula Jawa Tengah tidak luput dari langganan banjir, seperti bencana banjir yang telah di Demak, mengharuskan sejumlah warga terpaksa mengungsi.
Pada Tahun 2017, setidaknya terdapat 1.674 desa/ kelurahan yang masuk kategori daerah rawan banjir, 2.136 desa/kelurahan rawan tanah longsor (BPBD Jateng, 2017). Dalam catatan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng, menyebutkan dalam sepanjang tahun 2016 ada 2.112 kejadian bencana. Jumlah tersebut meningkat dibanding tahun 2015 lalu yang berjumlah 1.573 kejadian. Maka Tahun 2016 meningkat 34,26 persen, peristiwa banjir ada 296 kali, longsor 927 kali, kebakaran 468 kali, angin topan 419 kali. Total kerugian materil ditaksir mencapai Rp 3,235 triliun.
Pada dasarnya, pencegahan bencana alam tidak bisa dilakukan secara parsial, tetapi harus melibatkan beragam pendekatan yang tepat sasaran. Karena, persoalan yang seringkali menjadi penyebab bencana alam karena penghuni planet ini masih belum sadar bahwa kerusakan alam akibat ulah diri sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. (Ar Ruum ayat 41).
Maka sangat wajar jika sudut pandang teologis membaca bencana alam seperti gempa, banjir dan longsor adalah azab Tuhan bagi manusia yang belum jera berbuat kezaliman terhadap alam lingkungan sekitar yang dampaknya membuat manusia kering dari kesadaran spritual ekologis. Al Gore melalui karyanya Earth in the Balance: Ecology and the Human Spirit”, mengatakan, “semakin dalam saya menggali akar krisis lingkungan yang melanda dunia, maka semakin mantap berkeyakinan bahwa krisis ini tidak lain merupakan manifestasi nyata dari krisis spritual kita”.
Dalam kontek ini, pendidikan Agama di sekolah memiliki posisi strategis untuk mengembangkan sikap yang benar menghadapi masalah lingkungan hidup, dengan diorentasikan siswa memiliki kecerdasan spritual ekologis yang sangat kuat, sehingga memberikan keseimbangan pola pikir bahwa lingkungan yang baik berupa sumber daya alam yang melimpah yang diberikan Tuhan kepada manusia tidak akan lestari dan pulih (recovery) apabila tidak ada campur tangan manusia.
Manifestasi aktivitas kecerdasan spritual ekotelogi mampu mewakili filosofi kesadaran secara holistik, terintegrasi, bahkan komprehensif menyangkut persoalan lingkungan. Spritual Ekologi adalah harmoni hubungan manusia dan alam sekitar. Tidak satupun agama-agama di dunia ini yang mengabaikan penyelematan lingkungan, taruhlah Agama Buddha, Tao, Konfusianisme, dan Shinto, menganggap alam sebagai sakral. Buddha mengatakan pepohonan dan bumi memiliki semangat Buddha, yaitu kehidupan. Tao mengajarkan hubungan harmonis manusia dan alam. Konfusius menekankan langit dan bumi dinamakan orang tua agung yang memberi kehidupan dan kebutuhan hidup.
Para ekologian mencoba menjawab krisis spritualitas manusia modern dalam diskursus problematika ekologis dengan membangun imajinasi ekologi alternatif yang berdasarkan pada kebesaran Tuhan sebagai sumber segala kehidupan, dan responsibilitas kekhalifahan manusia dalam mengemban kepercayaan yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Sebagai pembaruan ekologi (ecolo gical renewal), maka konseptualisasi spritual ekologis sangat dibutuhkan guna menjawab kebutuhan yang berkelanjutan dengan memunculkan kesadaran spritual akan alam sebagai ciptaan Tuhan yang harus tetap dijaga sakralitasnya melalui kesadaran dalam bersikap dan beretika.
Tidak ada makhluk yang paling berbahaya di muka bumi ini dibandingkan dengan manusia yang tidak lagi menganggap dirinya hamba Tuhan. Setidaknya, manusia harus aktif di dunia ini dengan memelihara keharmonisan alam dan menyebarluaskan berkah dan karunia karena kedudukannya sebagai perantara. Ekspresi keagamaan, setidaknya tidak sekadar menjadi perhatian publik (public concern), namun lebih fokus pada spritual modernitas yang bermakna, holistis, menyentuh tatanan kosmis, yang menempatkan isu-isu lingkungan secara komprehensif pada sikap dan ide yang solutif.
Ada dua hal yang menjadi dasar terbentuknya perilaku manusia terhadap lingkungannya. Pertama subjective norms atau norma-norma subjektif yang didapatkan individu dari nilai-nilai agama, pemikiran-pemikiran, dan ide-ide, dari lingkungan sekitarnya. Kedua, attitude toward environment atau sikap individu terhadap lingkungannya, yang dibangun dari pengalaman-pengalaman langsung dalam menghadapi lingkungan yang terakumulasi selama perjalanan hidup individu berinteraksi dengan lingkungannya (Ajzen dan Fishben, 1980).
Dengan demikian, spritual ekologi dihubungkan dengan posisi hubungan Tuhan, Alam dan manusia menggambarkan worldview ekologi yang menjadikan teologi sebagai jantungnya kehidupan yang menyadarkan manusia jika alam berasal dari Tuhan (Mohammad Ali, 2007). Tentunya, merealisasikan makna prinsip teologi dalam realitas hidup manusia dengan berbuat apapun di alam semesta yang sesuai dengan kehendak-Nya, yakni dengan meraih dan menyatukan berbagai keragaman (mutiplicity) dalam bingkai kesatuan (unity).
Pelestarian lingkungan merupakan keniscayaan ekologis yang tidak dapat ditawar oleh siapapun dan kapanpun. Pelestarian lingkungan mau tidak mau harus dilakukan oleh manusia. Secara spritual fiqhiyah Islamiyah Allah SWT memiliki kepedulian ekologis yang paripurna. Paling tidak, pendekatan ini memberikan keseimbangan pola pikir bahwa lingkungan yang baik berupa sumber daya alam yang melimpah yang diberikan Allah SWT kepada manusia tidak akan lestari dan pulih (recovery) apabila tidak ada campur tangan manusia.
*Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor Psikologi Pendidikan Islam di Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Dosen STAI Al-Khairat Pamekasan Madura
Tinggalkan Komentar